“Lagi di Chiang Mai? Di Cina, ya?”
Kenyataan bahwa sebuah keluarga panda telah menjadi maskot Chiang Mai semakin tidak membantu banyak orang menempatkan letak geografis kota ini dengan benar. Kota yang pernah menjadi tuan rumah SEA GAMES tahun 1995 ini sebenarnya terletak di utara Thailand, dekat perbatasan dengan Laos dan Myanmar.
Bila Anda berpikir, “Ada apa sih di Chiang Mai? Jangan-jangan sama saja dengan Bangkok atau Phuket?”, moga-moga tulisan kami berikut ini bisa mengubah pikiran Anda. Chiang Mai adalah sebuah kota yang layak dikunjungi dan menawarkan berbagai kekhasan, baik dari segi budaya, arsitektur, maupun alam. Salah satu penyebabnya adalah Chiang Mai tadinya bukan merupakan bagian dari kerajaan Siam yang menjadi pondasi negara Thailand modern, melainkan kerajaan Lanna, yang memiliki kebudayaan tersendiri. Baru tahun 1932 Lanna resmi menjadi bagian Thailand.
Tengoklah ke luar saat pesawat akan mendarat…
Ada sejumlah maskapai yang melayani penerbangan ke dan dari Chiang Mai, antara lain AirAsia, Bangkok Airways, dan Nok Air. Sewaktu pesawat akan mendarat, di depan mata telah terpampang pemandangan menggetarkan yang langsung membuat saya yakin bahwa Chiang Mai pasti akan memberikan hal yang berbeda dibandingkan Bangkok yang terletak di dataran rendah: deretan pegunungan hijau. Melihatnya saja sudah membuat hati adem.
Bila Anda hendak mencoba sarana transportasi lain menuju Chiang Mai, Anda bisa mencoba bis (dengan harga karcis sekitar 500 Baht) atau kereta api dengan tiket berkisar 700-an sampai 1300-an Baht, tergantung tipe kereta atau gerbong yang Anda pilih. Dalam sehari, ada beberapa kali kereta meninggalkan Bangkok menuju Chiang Mai dan sebaliknya.
Sepotong tembok pelindung Chiang Mai tua yang masih ada.
Sesampainya di bandara internasional Chiang Mai, kami menggunakan taksi menuju penginapan kami. Oleh karena Chiang Mai merupakan kota kecil, taksi bermeter dari bandara menetapkan tarif flat 120 Baht menuju kota. Taksi ini tak banyak dijumpai di jalanan, sehingga untuk berkeliling Chiang Mai atau menuju atraksi-atraksi wisata yang agak jauh seperti Kebun Binatang, lebih baik menggunakan songthaew, angkot berwarna merah yang untuk gampangnya diinggriskan sebagai ‘taxi’.
Songthaew, si ‘taksi’ merah
Kami memesan kamar di Montrara Happy House, sebuah penginapan yang membuat kami tertarik lewat foto-fotonya. Junior suite untuk tiga orang dihargai antara 1100-1200 Baht (tergantung apakah weekdays atau weekend, dan sedang peak season atau tidak), alias sekitar 380 ribu rupiah, termasuk sarapan Continental. Dan kami sungguh tidak dikecewakan oleh pelayanan penginapan ini, yang meski terhitung sederhana dan murah namun tidak kalah dari hotel-hotel yang lebih mahal. (Namun bila Anda merasa lebih nyaman menginap di hotel berbintang, di Chiang Mai juga sudah tersedia sejumlah hotel dari jaringan internasional.)
Pertama-tama yang membuat kami menyenangi Montrara adalah desain interiornya yang artistik, menampilkan berbagai pernak-pernik khas Lanna/Thailand. Dari jendela kamar kami di lantai 4 pun terlihat pegunungan di kejauhan dan kanal yang mengelilingi Chiang Mai. Ada AC, kulkas, TV kabel, dan kamar mandi yang bersih serta unik. Rasanya enak sekali pulang ke kamar kami yang nyaman setelah lelah seharian berpetualang di sekitar Chiang Mai.
Ruang depan Montrara, dilihat dari ruang makan
Tempat tidur utama di junior suite Montrara
Tempat tidur tambahan di junior suite Montrara.
Kamar mandi junior suite Montrara – meja rias dengan kaca besar di sebelah kiri WC tidak terlihat.
Sarapan yang disediakan juga sehat dan mengenyangkan, cukup memberi kami energi untuk berkeliaran setengah hari. Sang pemilik dan istrinya pun turun tangan sendiri melayani para tamu. Staf penginapan selalu sigap membantu wisatawan-wisatawan yang rada culun seperti kami.
Aduuuh… boleh nambah nggak ya sarapannya…
Bila hendak mencuci pakaian, ada dua binatu di dekat Montrara. Satu terletak tepat di seberangnya, namun tutup pada hari Minggu. Satu lagi terletak beberapa puluh meter jauhnya, setelah Hotel Amora. Biaya binatu di Chiang Mai cukup murah, rata-rata 20 Baht tanpa setrika per kilo dan 35 Baht dengan setrika per kilo. (Coba bandingkan dengan di Phuket, yang mematok harga 50 Baht tanpa setrika dan 80 Baht dengan setrika per kilo….) Waktu mencuci kira-kira 10 jam, sehingga bila Anda menyerahkan pakaian kotor pukul 8 pagi, kira-kira pukul 6 sore sudah bisa Anda ambil kembali dalam kondisi terlipat rapi dan harum.
Luruuus saja ke arah sana dari depan Montrara, nanti di sebelah kiri ada binatu…
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, Chiang Mai sebenarnya kota kecil saja, kalah jauh dari Bangkok meskipun kota ini adalah kota kedua terbesar di Thailand. Dengan berjalan kaki saja, Anda bisa puas mengelilingi Chiang Mai. Jalan-jalan mobil tidak begitu ramai, sementara trotoar – termasuk yang lebar-lebar di tepian kanal atau sungai – sungguh membuat perjalanan menyusuri Chiang Mai nyaman. Agak mengingatkan saya kepada Hue di Vietnam, andaikan saja suhu Chiang Mai juga sedingin di Hue.
Tergoda tidak hendak menyentuh pantat patung gajah bahenol itu?
Salah satu penginapan/kedai di Chiang Mai
Salah satu kekhasan Chiang Mai adalah kota ini ‘banjir wat’. Ada sekitar 30 wat (kuil) di kota lama yang dikelilingi tembok pertahanan berwarna merah, dan ada barangkali 50 lainnya di bagian kota yang lebih baru. Ibaratnya, Anda menggelinding sedikit pun pasti ketemu wat. Kami mengunjungi cukup banyak wat selama di sana, namun tak akan saya ceritakan semua. Bisa-bisa jadi satu buku sendiri! Saya akan menampilkan hanya beberapa di sini. Dan bila Anda berpikir bahwa mengunjungi Grand Palace, Wat Pho, dan Wat Arun di Bangkok saja sudah sangat memuaskan, harap dicatat bahwa wat-wat di Chiang Mai memiliki gaya tersendiri, baik terbuat dari batu maupun kayu, dan sebagian di antaranya juga amat tua. Sebagian bergaya Burma, karena Lanna memang pernah agak lama menjadi wilayah taklukan negara tersebut. Dan karena bagi masyarakat Lanna menyimpan barang-barang peninggalan bangsawan membawa tulah sehingga harus disumbangkan ke wat, di sejumlah wat kita bisa menyaksikan objek-objek bersejarah itu dipamerkan.
Wat Ou Sai Kham, yang menyimpan sejumlah patung Buddha dari giok.
Tak jauh-jauh, di jalan yang sama dengan Montrara, ada Wat Ou Sai Kham, yang menampung sejumlah patung Buddha dari giok. Letaknya yang di jalan kecil memang membuat wat ini tidak begitu mencolok, namun Ou Sai Kham tetap saja indah dan menarik. Senyum seorang biksu yang mempersilakan saya duduk beberapa lama dalam aula utama sungguh menyejukkan hati.
Wat paling terkenal di Chiang Mai barangkali adalah Wat Chedi Luang yang terletak kurang lebih di pusat kota (dan memang Pilar Kota juga terletak dalam kompleks ini). Berdiri di depan bangunan utama (vihar) yang megah sudah cukup membuat diri ciut, apalagi memasuki aula besar di mana patung Buddha diletakkan. Cobalah meresapi kekhusyukan jemaah yang datang beribadah.
Lampion warna-warni di depan Wat Chedi Luang.
Di belakang vihar raksasa ini, terdapat pagoda batu dari abad ke-14. Puncaknya sayangnya sudah runtuh, namun bangunan yang tersisa masih memukau. Ular-ular berkepala lima dari batu menguakkan mulut lebar-lebar, mengancam di kaki undak-undakan yang tak boleh didaki lagi karena kondisi.
Bangunan kuno di latar depan, bangunan baru di latar belakang.
Ular berkepala lima di kaki undak-undakan pagoda tua Wat Chedi Luang.
Di sana-sini di dalam kompleks Wat Chedi Luang, terdapat kotak-kotak sumbangan. Anda bisa memilih menyumbang sesuai hari lahir (untuk keberuntungan), untuk membantu pengobatan biksu yang sakit, membiayai hidup anjing-anjing yang berkeliaran bebas dalam kompleks wat, dan lain sebagainya. Wat Chedi Luang juga menyediakan program berbincang-bincang bersama para biksu. Kita dipersilakan untuk membicarakan apa saja dengan mereka – mulai dari curhat sampai bertanya-tanya soal kebudayaan Thailand. Wah… ada yang perlu saran mengenai cara mengatasi kesulitan hidup?
Jangan lupa ganti alas kaki luar dengan sandal toilet, ya!
Satu lagi yang membuat saya terkagum-kagum adalah toilet yang tersedia di kompleks Wat ini benar-benar bersih – sampai-sampai disediakan sandal kamar mandi bagi tamu yang hendak menggunakan fasilitas yang dinaungi pepohonan rindang ini!
Di sebelah Wat Chedi Luang terdapat Wat Phan Tao, dengan vihar utama dari kayu jati. Bagian atas pintu depan dihiasi burung merak, motif yang agak tak lazim di Lanna. Di sebelah belakang terdapat pagoda putih bersih dan deretan lampion kertas berwarna-warni semarak.
Vihar dari jati di bagian depan Wat Phan Tao
Putih bersih berlatar biru langit.
Arca Buddha Wat Phan Tao – perhatikan ubin lantainya.
Satu lagi wat yang cukup menarik adalah Wat Bupparam, yang dikelilingi patung-patung kecil binatang – termasuk sebuah patung Donal Bebek! Bangunan-bangunan dalam kompleks ini juga terlihat berbeda dengan yang ada di Wat Chedi Luang maupun Wat Phan Tao.
Wat Bupparam terlihat dari seberang jalan.
Yah, setidaknya menara BTS di belakang itu berarti Anda tak akan kekurangan cara berkomunikasi di Chiang Mai.
Nah, itu baru sebagian wat yang kami kunjungi dan bisa kami sebutkan! Ada banyak lagi kompleks peribadahan serupa dengan macam-macam gaya arsitektur, yang mungkin lebih menarik bila Anda cari dan temukan sendiri. Bahkan karena ukuran Chiang Mai yang cukup kecil dan melimpahnya wat-wat itu, saya sarankan Anda tak usah terlalu mengandalkan peta atau buku panduan, termasuk tulisan saya ini. Berjalanlah, dan temukan sendiri wat-wat yang barangkali tak tercantum di buku panduan mana pun di berbagai pelosok Chiang Mai. Temukan wat favorit Anda sendiri – rasanya pasti akan lebih menyenangkan dan berharga! Dan jangan khawatir tak punya informasi apa-apa mengenai wat itu, karena biasanya di masing-masing wat disediakan keterangan dalam bahasa Inggris.
Bila malam menjelang, saatnya beranjak ke pasar malam, alias ‘night bazaar’, satu lagi atraksi utama di Chiang Mai. Pasar malam ini terletak di luar tembok kota lama, di seberang Kanal Mae Kha. Meskipun ‘night bazaar’ yang asli berada dalam sebuah gedung khusus, di trotoar pun pedagang kaki lima bersesakan. Banyak sekali barang menggoda yang mereka tawarkan dengan ciri khas Thailand Utara, misalnya tas, syal, kain tenunan, dan lain-lain. Membeli produk-produk tersebut juga mendorong kemandirian ekonomi para pembuatnya, wanita-wanita desa Utara. Selain itu ada pula produk-produk kreatif seperti kaus oblong, kartu ucapan, dan gantungan kunci, dengan desain tak kalah dari ‘kota besar’.
Setiap lantai night bazaar Chiang Mai dikhususkan untuk kelompok produk berbeda.
Yak, ditawar ditawar… (saya masih kepikiran tas burung hantu itu).
Untuk yang beragama Islam, di samping bangunan pasar malam Kalare ada sebuah masjid, bila Anda perlu salat sebelum melanjutkan jalan-jalan. (Di bandara juga ada mushola, kalau-kalau Anda hendak salat sebelum pesawat lepas landas.)
Puas melihat-lihat wat dan berbelanja di pasar malam, jangan lupa menengok panda. Sekarang rasanya tak mungkin menyebut Chiang Mai tanpa teringat mamalia yang satu ini. Penyebabnya adalah tiga ekor panda – Chuang-chuang dan Lin Hui serta anak mereka, Lin Ping – yang dipelihara di Kebun Binatang Chiang Mai. Letak kebun binatang ini agak jauh dari pusat kota, sehingga tumpangilah songthaew dengan membayar 30 Baht per orang sampai ke depan pintu gerbang kebun binatang. Menyebut ‘zoo’ pun para supir songthaew paham kok.
Sebelah depan kebun binatang Chiang Mai. Gajah, gajah di mana-mana!
Akuarium Chiang Mai, yang terletak dalam kompleks kebun binatang.
Harga tiket kebun binatang bervariasi, tergantung pada apa yang hendak Anda kunjungi dan fasilitas apa yang hendak Anda gunakan. Biaya masuk 100 Baht, bila ingin melihat panda dan snowdome tambah 100 Baht lagi, dan juga ada biaya lagi untuk masuk ke akuarium, serta 20 Baht untuk memanfaatkan tramcar. Saran saya, tak perlu ‘sok jago’ atau ‘sok hemat’ sehingga ogah membayar biaya lebih untuk tramcar, karena kebun binatang Chiang Mai sangatlah luas, dan dibangun mengikuti kontur perbukitan. Jarak satu kompleks ke kandang lain bisa beberapa ratus meter, naik-turun pula! Untuk yang tak terbiasa, bisa gempor bila tidak menggunakan tramcar!
Para supir tramcar kebun binatang tampaknya gemar bercerita lucu yang mengundang tawa penumpang. Sayangnya kami tidak mengerti bahasa Thailand.
Tempat tramcar ‘ngetem’ dan toko suvenir kebun binatang.
Sebagian hutan di dalam kebun binatang dijaga tetap alami. Bagi Anda yang punya waktu cukup banyak dan lebih berjiwa petualang, Anda bisa berkemah, menyusuri jalan setapak dengan kaki ataupun menunggangi gajah. Banyak pula kegiatan untuk anak-anak, kalau-kalau Anda membawa anggota keluarga Anda yang masih belia ke sana.
Duduk saja pun, panda tuh lucu ya…
Kandang panda dan koala disponsori LOTTE – yang kebetulan punya produk-produk bernama Hello Panda dan Koala’s March. Menyaksikan tingkah-polah lucu si panda kecil, Ping, sungguh membuat hati riang. Bila beruntung, Anda juga bisa berfoto bersama koala. Sayang sewaktu kami datang, si koala yang jadi bintang foto baru saja makan, dan akan tidur siang. Padahal koala bisa tidur 20 jam! Waduh, memang bukan keberuntungan kami nih. Namun tak perlu khawatir kehabisan ‘tontonan’, karena masih ada gajah, marmoset pigmi, pinguin, anjing laut, dan banyak lagi.
Kafe kebun binatang, yang terletak lebih rendah, dekat sungai.
Sekadar peringatan, Anda tak diizinkan merokok di mana pun dalam kawasan kebun binatang.
Kalau yang bilang ‘no smoking’ makhluk-makhluk selucu itu, tega melanggar?
Siang hari yang melelahkan di bawah sinar matahari paling enak diakhiri dengan minum teh dingin. Maka itu kami melangkahkan kaki menuju Raming Tea House Siam Celadon, yang bersama sejumlah toko lain berbagi lokasi berupa sebuah rumah antik dari kayu jati yang telah direnovasi. Anda bisa memilih untuk menyeruput teh Anda di dalam ruangan yang berdekorasi ala Eropa maupun di taman belakang yang rindang. Bila ingin, Anda bisa membawa pulang daun teh dalam kemasan, baik yang teh tanpa embel-embel ataupun beraneka teh campuran dengan khasiat masing-masing.
Gedung Siam Celadon adalah salah satu bangunan kayu jati yang dilestarikan.
Area bersantap di sebelah dalam. Taman terlihat dari pintu yang terbentang lebar. Di sebelah depan, terlihat bangku ayunan.
Cake macadamia, banana brownies, dan 3 jenis teh berbeda.
Tangga, kasir, dan sejumlah buah tangan yang bisa dibawa pulang.
Bagian tengah tidak beratap. Di sebelah kiri dan kanan terdapat sejumlah toko lain.
Puas makan-minum dan membeli oleh-oleh, kami pun membayar dan beranjak keluar. Astaga, bagian depan Siam Celadon sudah gelap-gulita, dan di pintu sudah tergantung tanda CLOSED. Ternyata mereka sudah tutup dari tadi, tapi sama sekali tak mengusir kami!
Beberapa tempat makan lain yang bisa Anda coba adalah:
– Thais That Bind, yang terletak tepat di seberang Wat Chedi Luang. Ayam goreng ala timur laut Thailand-nya juara! Es teh thai-nya juga amat menyegarkan. Kalau mau mencicip makanan panda, coba deh pesan sayuran rebungnya. Mungkin lidah Anda suka. Lidah saya sih kurang nyambung dengan rasanya, hehehe.
Menu yang kami cicipi di Thais That Bind: ayam goreng ala timur laut, sayur rebung, dan tentunya… thai tea!
– Pop Coffee House, yang menyajikan hidangan paket nasi dan lauk (sudah termasuk telur ceplok) dengan harga murah dan rasa menggoyang lidah. Es kopi susunya juga nikmat. Pop adalah bagian dari perusahaan yang juga menyewakan sepeda motor, sepeda, dan mobil untuk berkeliling Chiang Mai.
– Ratana’s Kitchen yang juga menyajikan makanan yang terasa ringan di kantong wisatawan yang tak berkocek tebal, namun buat saya rasanya masih kalah dari Pop.
– The Corner yang betul-betul terletak di sudut jalan dan banyak disambangi para pencari sarapan dan kopi.
Kalau Anda kurang suka bereksperimen rasa dan lebih gemar makan-minum yang pasti-pasti saja, ada sejumlah gerai waralaba atau chain store internasional seperti McD dan Starbucks kok di Chiang Mai.
Di mana-mana, terdapat toko buku bekas, bahkan yang saling menempel.
Satu lagi kekhasan Chiang Mai adalah sekian banyak toko buku bekas yang bertebaran di seantero kota. Toko-toko itu ada di mana-mana, termasuk di jalan tempat Montrara berada. Bila beruntung, Anda bisa menemukan buku incaran Anda dengan harga murah dan kondisi sangat bagus.
Sebenarnya masih banyak kegiatan dan tempat menarik di Chiang Mai yang belum kami jajal, tapi biarlah waktu yang terbatas menyebabkan semua itu kami simpan untuk lain kali. Namun ternyata godaan Chiang Mai belum berhenti di bandara. Sewaktu kami hendak terbang ke Phuket, hati melompat riang namun dompet menjerit frustrasi melihat sejumlah toko berinterior memikat mata di bandara. Toko-toko itu menawarkan sejumlah oleh-oleh seperti penganan, teh, dan kopi.
Toko Kanom Ban Arjarn di Bandara Internasional Chiang Mai.
Pia Kanom Ban Ajarn dengan berbagai isi… hmmm, nikmat!
Cobalah teh beraneka rasa seharga 12 Baht saja, atau belilah kue pia atau kue bunga sebagai buah tangan dari Kanom Ban Arjarn Confectionary. Bila lebih memilih teh atau kopi, ada Lanna Tea dan Papa’s + Mama’s. Jadi, bila ke Chiang Mai… jangan keburu habiskan lembar-lembar THB itu di kota! Siapa tahu justru hati Anda kepincut cendera mata di bandar udara…
Cantik, seperti Chiang Mai.