Bagian 1: Gosong di Angkor
Saya pastinya bukan orang Indonesia pertama yang mengunjungi Angkor. Saya pastinya juga bukan orang Indonesia pertama yang menulis tentang kunjungan ke Angkor. Dan, tentu saja, saya bukan orang Indonesia pertama yang begitu terpukau oleh pesona kompleks kota kuno tersebut.
Tapi simpan dulu keterpukauan itu. Jalan ke sana panjang dan tak satupun langkahnya bisa dilewatkan. Langkah pertama saya di Angkor tidak dimulai dengan keterpukauan. Saya memulai dengan mencari tuktuk yang bersedia mengantar saya berkeliling kompleks Angkor. Pengendara tuktuk saya, Chhrong, menyarankan agar saya membeli tiket terusan tiga hari. Well, jauh-jauh saya datang sampai nyaris menggelandang di Siem Reap, masa cuma untuk melewatkan sehari di Angkor? Maka, jadilah saya membeli tiket terusan seharga 40 USD. (Adapun harga tiket harian adalah 20 USD dan tiket terusan seminggu adalah 100 USD.) Mahal? Buat saya tidak. Memangnya saya bisa setiap hari bisa ke Angkor?
Yang kedua, bersiap melawan panas. Waktu saya di sana, suhu harian Angkor 30˚ C. Yang bilang neraka bocor di Jakarta, cicipi saja panas di Angkor. Ini panas yang tidak pandang bulu, menyengat kulit, bikin pusing, dan menggosongkan Anda. Sedia sunblock yang mumpuni dalam jumlah banyak kalau Anda tidak mau pulang dengan belang tiga warna seperti yang saya alami. Oh iya, tanah di Siem Reap dan Angkor adalah tanah merah yang mudah sekali terangkat ke udara dan kering. Mungkin selain topi, pertimbangkan juga untuk memakai masker.
Di pos tiket, pengunjung dipotret satu persatu dan selanjutnya wajah mereka akan dicetak di tiket. Dengan hasil jepretan yang lebih parah daripada foto paspor saya (habis si mbak tiket tidak pakai aba-aba), masuklah saya ke dalam kompleks Angkor. Di sini biasanya tuktuk yang menawarkan paket akan langsung membawa Anda ke gerbang barat Angkor Wat. Kalau Anda memakai sepeda sewaan, pastikan parkir di tempat yang aman. Biasanya laskar pedagang akan menawari Anda tempat untuk parkir, tapi Anda harus membayar 1-2 USD—setara dengan harga sewa sepeda seharian!
Yang penting juga, bawalah air minum. Di kompleks Angkor, air mineral 1.5 liter rata-rata dihargai 1 USD. Kalau saya sih mendingan uangnya dipakai untuk membeli buku (fotokopian) serba-serbi Angkor supertebal yang banyak dijual di pelataran atau kaus untuk ganti.
Kalau Anda tipe pelancong yang senang pergi ke tempat-tempat cantik dan berpose di sana, Angkor cocok untuk Anda… dengan syarat minus gerombolan turis yang juga datang. Saya tipe pelancong yang take things slow dan sejak awal saya katakan ini kepada Chhrong, jadi dia tidak usah mengejar-ngejar saya untuk segera ke candi berikutnya dalam jadwal.
Tapi ya itu tadi: saya harus bertarung melawan panas superterik. Hmmmph.
Bagian 2: Tenda Hijau
Tidak, tidak. Judul tulisan ini tidak menyindir lagu Teh Desy Ratnasari. Faktanya, inilah yang saya jumpai di banyak candi di kompleks Angkor ketika saya berkunjung ke sana, akhir Januari 2012 lalu. Bukan, bukan. Angkor bukan sedang menggelar hajatan. Ia hanya sedang mempertahankan dirinya agar tetap eksis. Tsaaah!
Ya, sebuah tenda terpal hijau menclok dengan manis tepat di depan gapura utama di Angkor Wat. Bayangkan Anda ada di posisi saya: Angkor ada dalam bucket list Anda selama bertahun-tahun, Anda awalnya datang ke Kamboja tanpa tujuan jelas, dan ketika Anda sudah begitu bersemangat menghabiskan 40 USD untuk tiket terusan tiga hari, ternyata tenda hijau itu menghancurkan mimpi Anda.
Tapi yaaah saya harus angkat topi kepada pihak yang mau merestorasi Angkor. Kompleks kota peninggalan abad ke-12 tersebut bukan cuma milik Kamboja, tapi juga milik dunia. Wajar dong kalau restorasinya didanai dunia (antara lain Jepang dan Korea) dan wajar juga dong kalau proses pengerjaannya yang akan terjadi sepanjang 2011-2015 harus dimaklumi oleh warga dunia.
Yang paling membuat saya makan hati dan ingin menjambak-jambak rambut (rambut orang lain tentu saja, bukan rambut saya) adalah keberadaan tenda serupa di candi favorit saya, Ta Prohm. Saya tidak datang ke Ta Prohm untuk mencari jejak Tante Angelina Jolie atau mau pecicilan di situ supaya diadopsi; saya datang untuk mengagumi pertarungan dua titan—kayu dan batu. Sayangnya, separuh bagian depan Ta Prohm ditutup untuk restorasi. Bagian tengahnya pun sedang dipugar karena ada pekerjaan perbaikan sangga. Belum lagi turis-turis lain yang celingak-celinguk mencari titik-titik unik karena punya pikiran yang sama dengan saya. Beuuuh.
Saya bolak-balik mengingatkan diri bahwa saya bukanlah satu-satunya di sana. Bahwa saya ada di sana untuk menghormati keluhuran budaya nenek moyang bangsa Khmer. Bahwa, sebagai warga dunia, saya juga ahli waris kompleks ini.
Bagian 3: Menunggu Pagi di Angkor Wat
Mungkin ini ironi terbesar yang saya cerna di kompleks Angkor: ada kalanya saya lebih menyukai batu daripada manusia karena batu tidak pernah berkeberatan.
Hari kedua kembara Angkor saya dimulai pukul 04:30. Tujuannya hanya satu: menyaksikan matahari terbit di Angkor Wat. Ketika saya sampai di pos pemeriksaan tiket, baru saya menyadari kebodohan saya. Saya tak punya senter, Angkor tidak dilengkapi dengan lampu, dan sudah begitu banyak pelancong yang datang lebih dulu. Nah, di sinilah momen ketika nekat dan sok tahu bertemu. Saya dan teman sekamar saya, Kitty, maju terus sampai masuk ke tingkat ketiga, tingkat tertinggi Angkor Wat.
…Dan mendapati tidak ada siapapun di sana.
Ada sih dua petugas yang berjaga di tangga menuju stupa tertinggi, tapi mereka bilang kalau saya mau naik, saya harus membayar. Ogah dong. (Belakangan, ada rombongan bule yang dipersilakan naik begitu saja oleh pak petugas. Grrr… meremehkan warga dunia ketiga nih.) Kembali ke luar? Memang sih tidak angker, tapi kalau Anda melihat ke lorong-lorongnya, Anda akan mendapati patung-patung Buddha tanpa kepala. Saya lebih dagdigdug karena saat itu gelap, mendung, dan kami terpisah dari rombongan. Daripada hantu, saya lebih takut kesandung dan patah kaki, atau minimal bonyok, karena jatuh di negeri orang.
Maka, ngejogroklah saya di salah satu pojokan di tingkat ketiga. Waktu itu pukul 05:00. Saya dan Kitty sama-sama (sok) merenung. Suara yang ada cuma angin dan keresak pasir. Dikelilingi batu, bukti kebesaran masa lalu bangsa Khmer, saya merasa begitu kecil. Inilah bebatuan yang bertahan selama delapan abad lebih. Sudah berapa juta kali ya mereka menyaksikan matahari terbit dan tenggelam? Apa ya yang mereka pikirkan tentang keturunan pembuatnya? Duuh, kalau di seberang saya tidak ada si teman sekamar, saya nangis deh.
Menjelang pukul 06:00, di langit pelan-pelan semburat kemerahan muncul seperti sayatan. Baru deh saya berani kembali ke gerbang barat. Mayoritas pemburu matahari terbit berkumpul di dekat kolam di sebelah kiri gerbang. Dari sanalah ribuan kamera menjepret berjamaah untuk mengabadikan momen terbitnya matahari dari balik Angkor Wat.
Saya melewatkan hal itu, tapi saya menunggu matahari terbit bersama bebatuan Agkor Wat. Fair enough.
Bagian 4: Angkor dan Publicity Stunt
Dari sekian banyak hal mengesankan di kompleks Angkor, ada satu yang meyakinkan saya untuk menempelkan stempel ‘not worth it.’ Hal tersebut adalah balapan, antrian, dan kerumunan massa pemburu matahari terbenam di salah satu candi Angkor Thom. Demi apa yaaa, nggak lagi-lagi deh.
Pertama, untuk sampai ke candi di puncak bukit tersebut, Anda harus mendaki jalan yang sebetulnya cukup lebar untuk dipakai Power Ranger berjejer, tapi karena banyak saingan, Anda harus mahir selap-selip. Dan percayalah, saya cukup terlatih di jalanan Jakarta untuk itu. Kedua, sampai di puncak, Anda harus mengantri dan mematuhi instruksi petugas. Inti instruksinya bahwa cuma ada dua lajur untuk naik dan itupun tidak semua naik bersamaan. Ya ngerti sih tujuannya. Masalahnya, di puncak candi, pengunjung sudah menyemut… hanya di satu sisi candi. Ya itu juga saya mafhum—semua orang pasti ingin tempat terbaik ketika matahari benar-benar terbenam. Namun, percayalah, Anda masuk hitungan pengunjung menyebalkan kalau Anda ke sana hanya untuk berakhir dengan sibuk memainkan game di iPad Anda.
Selain itu, berhati-hatilah kalau ada warga lokal yang mencegat Anda di salah satu pintu Angkor Wat sambil mengulurkan dupa. Dupa tersebut tidak gratis! Setelah Anda menerimanya, Anda diminta membungkuk tiga kali di depan patung Buddha, menancapkan dupa di pot, daaan… memberikan uang persembahan yang, katanya, akan diberikan kepada biksu. Karena saya pikir hal tersebut adalah bagian dari kearifan lokal, saya lakukan saja. Namun, saya sempat manyun ketika ditodong uang sumbangan. Ya sudah, sisa VND pun saya serahkan semua sebelum melengos pergi. Silakan hitung sendiri ya, pak tukang dupa.
Di lain pihak, Angkor sendiri sudah menjadi korban publicity stunt. Mana ada orang ke Kamboja tanpa ingin mengunjungi Angkor? Maka, saya pikir sedikit persiapan tidak ada salahnya (tidak seperti saya). Cari peta Angkor dulu sebelum ke sana (terutama kalau Anda mau berkeliling pakai sepeda). Kalau pakai tuktuk, pastikan Anda tidak melewatkan candi-candi yang bagus. Kalau mau sedikit curang, nempel saja ke salah satu rombongan dan dengarkan celoteh pemandu wisata. Lumayan untuk nambah ilmu, hehehe. Oh, dan satu lagi, bersiaplah merogoh kocek lebih dalam untuk kebutuhan pangan karena nyaris semua restoran di kompleks Angkor pasang harga dua kali lipat dari harga di luar kompleks. Ah, tapi yang terakhir itu sih agaknya terjadi di semua tempat wisata ya?
Syukurnya, tidak ada pengunjung yang cukup sinting menulis graffiti di Angkor. Tepuk tangan untuk semua!
Bagian 5: Wajah-wajah Bayon
Salah satu ikon Angkor selain Angkor Wat (yang ada di bendera Kamboja) dan Ta Prohm (tempat Tante Angelina Jolie pecicilan pakai spandex hitam) adalah Bayon, sebuah candi di kompleks Angkor Thom. Dari kejauhan, Bayon terlihat seperti tumpukan sarang semut raksasa yang menjulang ke langit. Tapi tunggu.
Yang paling menarik dari Bayon adalah sejarahnya sebagai candi yang pernah dipakai baik sebagai tempat suci umat Buddha maupun Hindu. Reliefnya banyak menceritakan kisah mitologi Hindu, tetapi lihat dulu wajah siapa yang terpahat di setiap menara Bayon.
Bagian 6: Candi Perempuan Kakak Angkor
Salah satu bagian dari kompleks Angkor yang populer adalah Banteay Srey. Letaknya sekitar setengah jam perjalanan dengan mobil atau tuktuk. Berbeda dengan Angkor Wat dan Angkor Thom yang panas menyengat, Banteay Srey terletak di kaki gunung Phnom Dei sehingga udaranya lebih sejuk. Yang menarik, kompleks ini ternyata diperuntukkan bagi perempuan. Ya, “srey” itulah yang kita baca dalam Bahasa Indonesia sebagai “sri.”
Kompleks candi Hindu Siwa ini punya banyak ukiran rumit sekaligus cantik. Reliefnya banyak memuat sosok perempuan—mungkin karena itu dia disebut candi para perempuan. Lagi-lagi, banyak bagian candi ini yang tertutup buat pengunjung karena sedang direstorasi. Namun, sisi positifnya adalah saya bisa memotret tanpa harus bolak-balik bilang permisi atau menunggu orang berlalu dari obyek yang ingin saya potret. Pengaturan arus pengunjung sejak mulai masuk, berada di dalam, dan keluar Banteay Srey sampai ke area suvenir sendiri sangat rapi. Acung jempol deh buat yang satu ini.
Bagian 7: Candi-candi Roluos
Kompleks terjauh dari pusat Angkor adalah kelompok candi-candi Roluos yang terletak di Banteay Meanchey, provinsi yang jaraknya sekitar 40 km dari Siem Reap. Karena tempatnya yang terpisah lumayan jauh, kompleks ini jauh lebih sepi dibanding Angkor. Waktu menuju ke sana, saya dan Kitty si teman sekamar sempat dagdigdug. Pasalnya, mood Chhrong masih jelek selepas kami membatalkan jadwal di Danau Tonle Sap. Jalan menuju kompleks Roluos juga sepiii sekali, sampai kami berpikir jangan-jangan kami ini mau diculik.
Ada tiga candi yang wajib dikunjungi dalam kelompok ini, yaitu Lo Lei, Bakong, dan Preah Ko. Berbeda dari candi-candi di kompleks Angkor, ketiga candi ini mengombinasikan penggunaan bata merah (seperti Banteay Srey) dan batu. Saya tidak tahu apa-apa tentang itu, tapi dasar hoki, kebetulan saya ke sana dengan mengenakan kaus berwarna kontras. Beberapa foto yang dijepretkan Kitty sukses deh terpajang di album kenangan saya. Hal ini mungkin bisa jadi pertimbangan buat Anda yang hobi berfoto sambil mejeng. 🙂
Candi-candi Roluos ini umurnya seabad lebih muda daripada Banteay Srey dan tiga abad lebih tua daripada Angkor. Plus, mereka beraliran Hindu. Waktu saya berkunjung, beberapa sling baja mengikat tubuh bangunan di Lo Lei untuk menguatkan strukturnya. Ngeri deh membayangkan apa yang terjadi (dan apa yang hilang) kalau dia roboh. Sementara itu, Bakong sedang direcoki beberapa kerja restorasi, terutama pada bagian menara penjaganya. Yang unik, kalau di Bakong banyak ditemukan patung singa, tepat di bagian muka Preah Ko ditemukan patung lembu Nandi, tunggangan Dewa Siwa. (Preah Ko dalam Bahasa Khmer berarti ‘lembu suci.’) Ya lucu saja kok kompleks candi yang dikonsekrasikan untuk lembu dijaga oleh singa. Oh, dan kalau diingat-ingat, mirip juga ya sejarah candi-candi Roluos yang Hindu dan Angkor yang Buddha dengan Prambanan dan Borobudur kita, hehehe.
Written and photographed by Tukang Kesasar