Saat senggang, saya membongkar-bongkar dokumentasi foto dan catatan perjalanan ke Taipei tahun 2018. Ah, ternyata banyak juga yang terekam, meskipun saat itu kamera belakang telepon genggam saya mengalami gangguan (oleh karena itu foto-foto saya di sini terlihat aneh pencahayaannya dan agak kabur). Baiklah saya jadikan tulisan mengenang perjalanan, meskipun info-infonya terasa usang kini, setelah empat tahun kemudian dan hantaman pandemi. Apa-apa yang waktu itu mudah dan murah kini mungkin tidak lagi begitu.
Waktu itu kami pergi-pulang menggunakan AirAsia, sehingga perjalanan mencakup transit di KLIA LCCT. Sebagai WNI, kami memperoleh kemudahan memanfaatkan Sertifikat Otorisasi Perjalanan ROC (ROC Travel Authorization Certificate)sehingga tidak perlu repot mengajukan visa. Apakah sertifikat ini masih diberikan di era pandemi ini atau tidak, silakan dicek kepada pihak yang berwenang, ya!
Setelah dua tahun menahan diri tidak sembarangan keluar-keluar, akhirnya saya memberanikan diri ‘berjalan-jalan’ lagi… atau tepatnya outbond bersama kantor. Keberanian saya didorong oleh kondisi yang sudah lebih kondusif di pertengahan tahun ini dan perasaan gatal yang kembali muncul di dalam diri untuk aktif bergerak. Selain itu, juga oleh perasaan yakin akan keamanan acara yang diselenggarakan kantor, mengingat selama pandemik kantor sangat memperhatikan kesehatan kami. Kali ini, yang hendak ikut acara pun harus lolos tes antigen dulu dan tidak menunjukkan gejala sakit. Tempat yang dipilih pun kawasan terbatas dan bukan tempat ramai.
Nah… berhubung semuanya sudah diurusi oleh kantor, kali ini saya tidak bisa berbagi detail-detail seperti bagaimana memesannya atau bahkan berapa harganya tepatnya. Untuk hal-hal seperti itu lebih baik bertaya langsung ke manajemen, ya. Yang saya bisa ceritakan ya tentang seperti apa tempatnya.
Perjalanan menuju ke sana diwarnai macet yang cukup membuat uring-uringan (apalagi kondisi ini sudah dua tahun tidak saya alami). Puncak memang masih jadi primadona tujuan wisata singkat penduduk Jakarta dan sekitarnya, tapi sedih juga kok yang namanya macet ini merupakan masalah yang tidak selesai-selesai juga. Bila ditanya solusinya, yah, saya bukan ahlinya, saya juga tidak bisa memberikan jawaban yang bagus. Namun kira-kira mau sampai kapan ya begini terus? Tidak adakah yang bisa dilakukan untuk meringankan beban lalu-lintas wilayah ini?
Akan tetapi, barangkali, kemacetan itu membuat ketibaan di tempat tujuan terasa semakin berharga dan melegakan. Meskipun sebenarnya hanya berjarak beberapa kilometer dari jalan raya kalau dihitung lurus-lurus, hiruk-pikuk dan keruwetan di sana tidak mencapai kawasan yang bernama Forest Garden Batulayang ini.
Setelah sekian lama absen, saya muncul lagi di sini. Anda, yang sedang membaca tulisan saya ini, apa kabar? Saya sendiri baik-baik saja, selain sedang sedikit batuk-pilek. Yang jelas, secara mental saya merasa sudah jauh lebih baik daripada ketika pandemik sedang tinggi-tingginya.
Saya pun teringat lagi blog perjalanan yang dulu (cukup) rajin saya update ini. Saya terpana sendiri. Astaga, bahkan saya tidak pernah menyelesaikan tulisan saya tentang perjalanan ke Korea Selatan? Pandemik waktu itu tanpa saya sadari benar-benar memukul mental saya; kalau jalan-jalan sih ya memang tidak mungkin, tapi saya bahkan jadi malas melihat-lihat lagi foto-foto saya dan menuliskan pengalaman saya. Akhirnya peristiwa-peristiwa, nama-nama, beterbangan dari benak saya. Sekarang, bila menelusuri foto-fotonya satu per satu, saya bisa sedikit demi sedikit merangkai ingatan, tetapi tentu beda rasanya dengan ketika perjalanan belum lama berakhir—dan sebelum kegundahan semasa pandemik mengubur banyak kenangan lama. Menyusuri rekam jejak perjalanan di Google dan app-app lain yang saya gunakan tentu akan membantu, tetapi saat ini saya masih belum tahu apakah saya akan melakukannya.
Padahal, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya belum lagi tuntas menceritakan kisah perjalanan ke Korea Selatan.
Saya juga belum bercerita soal perjalanan terakhir saya ke Jepang sebelum pandemik, ketika saya bertandang ke rumah Shaun the Sheep. Eh, tepatnya, rumah pak tani di Shaun the Sheep.
Atau ketika saya berkunjung lagi ke Filipina, yang, bila saya tidak salah ingat, adalah negara terakhir yang saya kunjungi sebelum perjalanan lintas-negara dilarang semasa pandemik.
Eeeh, tunggu! Saya bahkan belum bercerita soal perjalanan saya ke Taipei, salah satu kota paling menyenangkan dan paling menarik yang pernah saya kunjungi.
Banyak pula kota-kota Jepang lainnya yang saya belum sempat ceritakan: Nagasaki, Kumamoto, Ehime, Ishinomaki, Kagoshima, Saga, aaaah banyak sekali! Mungkin perlahan-lahan saya akan menuliskan kisah-kisah tentang perjalanan itu, menyelamatkan keping-keping kenangan yang tersisa. Mungkin saya akan langsung lompat saja menceritakan perjalanan-perjalanan baru. Sedikit demi sedikit melangkah maju lagi.
Yang jelas, saya senang kalau Anda masih sehat-sehat saja, dan terima kasih karena masih membaca blog saya ini. Semoga masih mau membaca dan berinteraksi lagi dengan saya ke depannya. Salam!
Awal Agustus lalu, saya mendapat kesempatan jalan-jalan murah ke Seoul selama tiga hari. Ets, sebelum Anda bertanya “Wah, dapat promo dari mana Kak?” saya harus menjelaskan bahwa saya tidak bisa menjawab. Itu karena kali ini, alhamdulillah, saya hanya perlu membayar visa dan pengeluaran pribadi di sana. Pesawat dan hotel ada yang menanggung – yaitu tempat kerja adik saya yang mengganjarnya dengan hadiah jalan-jalan karena berhasil mencapai predikat ‘terbaik’.
Sedikit update dari saya – tepatnya sih, tautan ke sejumlah tulisan lain tentang perjalanan saya di bulan Desember 2017 yang dimuat di blog lain. Seperti yang sudah-sudah, tulisan-tulisan yang banyak berfokus pada Hokkaido ini ditulis dalam bahasa Inggris.
Sudah sampai ke Hokkaido, kami merasa harus menyempatkan diri mempelajari kehidupan suku Ainu, penghuni asli Hokkaido. Kami pun menuju ke Poroto-kotan, yang terdiri atas sebuah desa Ainu dan sebuah bangunan museum modern. Pengetahuan yang kami dapatkan di ‘desa’ yang terletak di kota Shiraoi ini sangat berharga, dan sungguh berbeda rasanya dari bila hanya membaca atau menonton video tentangnya.
Sebagai catatan, museum ini saat ini sedang ditutup untuk diubah menjadi ‘Ethnic Harmony Symbolic Space’ yang baru akan dibuka lagi pada tahun 2020.
Kami terus bergerak ke selatan. Setelah mengunjungi Hakodate untuk nyekar ke tempat terakhir pejuang legendaris Hijikata Toshizou terlihat dalam keadaan hidup, kami menyeberang ke Pulau Honshu (pulau utama Jepang). Setelah kunjungan sejenak ke Akita dan Aomori (yang akan saya ceritakan kapan-kapan… duh, bertambah panjang deh janji-janji saya), saya meneruskan perjalanan ke Aizu-wakamatsu. Banyak orang berkunjung ke Kyoto untuk mencicip kehidupan Jepang di zaman para samurai, sementara Aizu-wakamatsu kurang populer. Padahal bila Anda penggemar sejarah samurai, kota ini justru merupakan salah satu tujuan utama! Sesudahnya, saya berlanjut lagi ke Nagoya, dan mengunjungi Meiji-mura, museum terbuka berukuran sangat luas tempat berbagai bangunan dari zaman Meiji dilestarikan.
Sekian dulu cerita-cerita dari Hokkaido. Setelah ini, saya sambung dengan cerita dari negara lain dulu, ya! (Tapi tentu saja stok cerita saya tentang Jepang belum habis!)
Bulan Oktober lalu, saya berhasil mewujudkan salah satu keinginan saya sejak lama: menyaksikan Festival Sekigahara. Festival ini diselenggarakan tiap Oktober untuk memperingati Pertempuran Sekigahara yang berlangsung pada tahun 1600 Masehi dan sangat menentukan sejarah Jepang ke depannya. Di medan yang kini terletak di Prefektur Gifu, pasukan-pasukan dari berbagai daerah di Jepang yang terbagi ke dalam dua kubu—umum disebut Kubu Timur dan Kubu Barat—berhadapan dalam pertempuran yang menelan sedemikian banyak korban. Para penggemar sejarah pun berkumpul setiap tahun di Sekigahara untuk menyaksikan reka adegan pertempuran tersebut dan memberi semangat ‘jagoan’ masing-masing.
Hari Sabtu! Sesuai rencana kami, kami akan berpindah ke Kuala Lumpur agar keesokan harinya tidak terburu-buru saat harus ke bandara. Sebelumnya, kami menikmati jatah sarapan, kali ini di kafe Old Town yang menyajikan sejumlah pilihan sarapan ala Malaysia. Pilihan saya adalah roti bakar, telur setengah matang, dan jus jeruk.
Di bagian pertama tulisan saya tentang Ipoh, saya sempat menyinggung bahwa M Boutique Hotel tempat kami menginap dilengkapi dua buah restoran; salah satunya adalah kafe Old Town, sementara yang satu lagi adalah Myth. Biaya menginap di hotel ini sudah mencakup sarapan yang bisa Anda pilih: ala Malaysia di Old Town, atau ala Barat di Myth. Pagi itu, kami memilih untuk sarapan di Myth dulu. Kami ditawari enam macam set hidangan sarapan. Saya memilih set yang terdiri atas roti bawang putih, ham ayam, kacang putih, kentang, telur ceplok, dan minuman panas. Tidak terlalu berat, namun cukup mengisi perut. (Oya, Myth ini juga menawarkan berbagai kreasi kue yang enak-enak, lho! Biasanya setiap malam sebelum ke kamar tidur, kami membeli kue dari situ untuk disantap di kamar.)
Akhirnya…. saya kembali ada waktu untuk melanjutkan menulis blog soal Ipoh. Waduh, ternyata sudah setahun lewat sejak saya ke sana, ya. Moga-moga pengalaman saya ini belum terlalu basi untuk dibaca.
Setelah beristirahat sejenak di hotel, kami pun memberanikan diri keluar untuk berjalan-jalan meskipun Matahari siang masih terik memancar tanpa kenal ampun. Ternyata dugaan saya, yang mengira bahwa udara Ipoh cukup sejuk karena kalau dari foto-fotonya tampak terletak di pegunungan, keliru adanya. Setidak-tidaknya selama beberapa hari di sana, Matahari cukup ganas membakar kami. Untungnya sih udaranya terhitung bersih, sehingga tidak terlalu menambah beban kami.
Sebulan lebih berlalu, belum juga cerita saya tentang Penang berlanjut, ya. Padahal garis besarnya sih sudah ada. Bahan sudah dikumpulkan sebagian. Namun kesibukan lain sungguh menyita waktu…
Akan tetapi, saya sempat kok melanjutkan tulisan saya tentang kunjungan ke Hokkaido di blog yang satu lagi, yang berbahasa Inggris. Di sini saya berikan tautannya, ya.
Kami sempat mampir ke kota terbesar kedua di Hokkaido ini untuk bertandang ke sebuah museum yang dikhususkan untuk menampilkan sejarah divisi ke-7 Angkatan Darat Jepang dan divisi ke-2 Pasukan Bela Diri Jepang yang bertugas mengamankan Hokkaido.
Lho, ngapain ke penjara jauh-jauh di kota kecil nun jauh di ujung timur Hokkaido ini? Banyak lho, sejarah yang bisa dipelajari dari kompleks bekas penjara yang namanya pun bisa menciutkan hati. Menyenangkan juga pergi ke kota kecil yang tenang, jauh dari keramaian.
Kisah petualangan di Hokkaido pun bersambung lagi…
GoHalalPlanet
Informasi restoran halal dan lain-lain untuk pelancong Muslim
Relawan Konser
Berawal dari blog, sekarang menjadi situs media untuk berbagai liputan dan wawancara terkait konser artis-artis Asia (terutama Asia Timur).
The Daily Japan
Berbagi berbagai hal tentang Jepang. Saya juga sesekali menulis di sana.