Taipei (2018) – Bagian Pertama

Saat senggang, saya membongkar-bongkar dokumentasi foto dan catatan perjalanan ke Taipei tahun 2018. Ah, ternyata banyak juga yang terekam, meskipun saat itu kamera belakang telepon genggam saya mengalami gangguan (oleh karena itu foto-foto saya di sini terlihat aneh pencahayaannya dan agak kabur). Baiklah saya jadikan tulisan mengenang perjalanan, meskipun info-infonya terasa usang kini, setelah empat tahun kemudian dan hantaman pandemi. Apa-apa yang waktu itu mudah dan murah kini mungkin tidak lagi begitu.

Waktu itu kami pergi-pulang menggunakan AirAsia, sehingga perjalanan mencakup transit di KLIA LCCT. Sebagai WNI, kami memperoleh kemudahan memanfaatkan Sertifikat Otorisasi Perjalanan ROC (ROC Travel Authorization Certificate) sehingga tidak perlu repot mengajukan visa. Apakah sertifikat ini masih diberikan di era pandemi ini atau tidak, silakan dicek kepada pihak yang berwenang, ya!

Waktu ketibaan kami di bandara Taoyuan mepet sekali dengan jam keberangkatan kereta terakhir ke arah Taipei. Maklumlah maskapai low-cost jam tibanya ya suka ekstrem-ekstrem begini. Sampai-sampai petugas sempat berseru-seru khawatir kepada kami, “Apakah mau ke Taipei? Lekas, kereta terakhir sudah mau berangkat!” Hmm, terima kasih peringatannya, bapak-bapak, tapi kami memutuskan untuk menginap di Lütel Hotel, yang tidak begitu jauh dari bandara. Stasiun terdekat dari hotel ini adalah Stasiun Taoyuan, yang terletak di jalur arah berlawanan dengan Taipei.

Jalannya dari stasiun ke hotel agak jauh, sekitar satu kilometer; tapi sepertinya ada jalan yang saat itu tertutup karena proyek pembangunan – ataukah karena sudah malam? Sehingga kami tidak bisa mengambil jalur berjalan kaki yang tercepat. Setidak-tidaknya, trotoarnya cukup mulus, mempermudah perjalanan.

Hotel kecil ini menawarkan sejumlah kamar tidur yang bersih dan cukup lega dengan kamar mandi bersama. Hotelnya bisa diakses pengguna kursi roda, bahkan ada kamar mandi khusus bagi mereka. Penilaian akhir saya, cukup enaklah untuk menginap semalam dengan biaya tidak mahal. Saat pagi, kami mendapatkan jatah sarapan sederhana, dan juga sempat berjalan-jalan melihat daerah sekitar. Ada Taman Seni Kaligrafi Hengshan yang mengelilingi sebuah danau. Sayang karena kepagian yang bisa kami lakukan hanyalah melihat-lihat. Tidak pelak saya jadi bertanya-tanya, apakah area itu sekarang telah menjadi semakin ramai dan semarak?

Kami lantas pindah menggunkan kereta ke hotel utama kami dalam perjalanan ini, yaitu Best Hotel yang letaknya cukup strategis di dalam kota. Hotel tersebut tidak jauh dari Stasiun Songshan, Pasar Malam Raohe, dan Rainbow Bridge. Lumayan, kalau mau mencicipi (salah satu) pasar malam ala Taipei yang terkenal, tinggal menggelundung keluar dari hotel saja.

Saat itu agenda kami berkunjung ke Taipei mencakup menonton konser, namun di sini saya akan mengingat-ingat tempat-tempat lain yang kami kunjungi saja, ya. Semuanya masih di dalam Taipei dan terjangkau kereta. Agar keluar-masuk stasiun mudah, kami menggunakan kartu transportasi yang lazim dikenal sebagai EZ card.

Nah, berikut beberapa tempat yang kami sambangi:

Songshan

Ini kawasan tempat hotel kami berada. Sewaktu melihat namanya dalam hanzi, saya berpikir, wah, kok tulisannya mirip dengan Matsuyama (松山) di Jepang, ya. Eeeeh, ternyata, memang yang memberi nama kawasan ini Songshan adalah orang-orang Jepang, karena konon pemandangannya mengingatkan mereka kepada Matsuyama. Saya juga sudah pernah berkunjung ke Matsuyama, namun sudah susah untuk melihat apa kemiripan Songshan dengan Matsuyama pada masa pemberian nama itu.

Mengingat latar sejarah penamaan kawasan ini, tidak heran Songshan masih merasa punya ‘keterkaitan’ dengan Matsuyama. Tatkala kami mengunjungi Pasar Malam Raohe—salah satu daya tarik Songshan—terlihat sejumlah lentera hiasan besar (semacam nebuta dari Aomori) yang menggambarkan Botchan dan Dogo Onsen. Botchan adalah tokoh novel karya Natsume Souseki, yang sempat mengajar di Matsuyama dan menjadikan kota tersebut sebagai latar bagi novelnya itu. Sedangkan Dogo Onsen adalah pemandian air panas yang tenar di Matsuyama.

Mengenai pasar malamnya sendiri… Saat itu, pasar-pasar malam Taipei adalah salah satu daya tariknya yang paling dijual. Entahlah bagaimana nasib mereka sekarang. Sudahkah ramai kembali seperti dahulu? Apakah orang-orang telah kembali bersenggol-senggolan bahu, tersendat-sendat melalui jalur-jalur kecil yang diapit aneka penjaja? Adakah batasan-batasan yang berlaku sekarang?

Berkat Pasar Malam Raohe yang dekat sekali lokasinya dengan hotel kami, kami nyaris tidak pernah makan nasi, alias… jajan melulu. Jajannya ya sedikit-sedikit perut buncit, mulai dari cumi goreng, cheesecake, ‘flying milk’ (yang sampai sekarang saya masih kurang yakin maksudnya apa), dan lain sebagainya. Begitu-begitu ya mengenyangkan juga.

Masih di kawasan ini, membentang Rainbow Bridge yang saya sengaja kunjungi pagi-pagi ketika baru sedikit saja ada orang di jalan, rata-rata yang sedang berangkat kerja atau membereskan sisa-sisa pasar malam semalam.

Ada satu tempat khusus di mana kita boleh memasang ‘gembok cinta’, dengan harapan hubungan kasih kita awet. Saya sih hanya memandangi deretan gembok-gembok itu sambil tersenyum. Mau awet dengan siapa…

(bersambung)

Leave a comment

Masukkan alamat surelmu, dan terima kabar terbaru dari kami lewat surel!

Join 128 other subscribers

Lompat hari

December 2022
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Arsip Lompat-lompat