Di sisi Jakarta, ada tiga wilayah yang menyandang nama ‘Tangerang’. Dua di antaranya kota: Tangerang dan Tangerang Selatan; sementara satu lagi berstatus kabupaten. Kadang-kadang ini memang membingungkan. Apabila saya secara singkat menyebutkan rumah saya ada di Tangerang (dan yang saya maksudkan adalah Tangerang Selatan), banyak yang mengira rumah saya ada di Kota Tangerang. Namun kedua wilayah ini berbeda, dan jaraknya dari ujung ke ujung lumayan jauh pula. Setidaknya, jarak dari rumah saya ke kawasan kota tua Tangerang, di mana Benteng Heritage Museum (BHM) terdapat.
Kawasan kota tua Tangerang dikenal juga sebagai kawasan ‘Benteng’, asal-muasal sebutan ‘ciben’ alias ‘Cina Benteng’ untuk orang-orang Tionghoa yang sejak lama bermukim di daerah tersebut. Konon dahulu memang ada benteng yang berdiri di wilayah yang kini menjadi kota tua Tangerang.
Malangnya, di masa lalu, meskipun telah berabad-abad tinggal di Tangerang sejak nenek moyang mereka pertama kali mendarat di Teluk Naga, para ‘ciben’ kerap mendapat diskriminasi dan pelecehan, dan beberapa kali pula terjadi tragedi berdarah. Misalnya, pada 1942, di masa penjajahan Jepang, rumah-rumah warga Tionghoa Tangerang dijarah. Berbagai benda berharga hilang, termasuk warisan keluarga seperti guci abu leluhur dan papan nama leluhur. Tahun 1946, di masa awal republik ini, fitnah bahwa ada orang Tionghoa menurunkan bendera merah-putih di Tangerang berbuntut pembantaian besar-besaran terhadap ‘ciben’. Diperkirakan ada 600 orang tewas.
Kaum peranakan ini pun dahulu dianggap lebih ‘rendah’ oleh orang-orang Tionghoa yang bermukim di Jakarta, karena kulit mereka yang lebih gelap dan dialek mereka yang dianggap ‘aneh’, hasil percampuran dengan suku-suku bangsa lainnya di sekitar Tangerang. Sampai sekarang, bila Anda bertandang ke Kota Tangerang, Anda akan bertemu dengan orang-orang Tionghoa yang berbicara dengan logat Sunda, juga beberapa logat lain yang digunakan penduduk Banten.
Berbagai kisah masa lalu masyarakat Tionghoa Tangerang, juga contoh artefak dan produk budaya mereka hingga kini, bisa kita nikmati di museum yang baru resmi dibuka tahun 2011 lalu, yaitu Benteng Heritage Museum yang terletak di Pasar Lama Tangerang. Awalnya, museum ini adalah dua rumah bersisian yang berhasil dibeli oleh Bapak Udaya Halim dan direstorasi besar-besaran oleh tim beliau. Pak Udaya bertumbuh besar di Pasar Lama Tangerang, dan berniat menyelamatkan warisan budaya Tionghoa Tangerang termasuk bangunan-bangunannya. Masih ada beberapa rumah lagi yang hendak beliau selamatkan, termasuk rumah ketiga yang sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian rumah yang dijadikan museum.
Dari Cikokol, saya naik angkot berwarna biru-kuning dan meminta supir angkot menurunkan saya di Pasar Lama. Ia menurunkan saya di depan sebuah gang kecil. “Betul di sini, Bang?” tanya saya.
“Betul. Lewat gang ini saja, nanti tembus di Pasar Lama.”
Pertama-tama saya agak ragu, namun sang supir angkot memang tidak berbohong. Gang itu betul tembus ke Pasar Lama. Namun meski saya sebut ‘gang’, jangan kira wujudnya adalah jalan kecil yang kotor dan becek. Di Kota Tangerang, gang-gang sekalipun sebagian besar sudah berlapis conblock sehingga enak disusuri. Dan berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kecil ini, sambil memperhatikan rumah-rumah tua dan kesibukan masyarakat Tangerang, terasa menyenangkan.
Di dekat tempat saya turun, ada sebuah gerbang merah yang digantungi lampion. Di balik gerbang itu ada tangga yang menuju ke pelataran yang tidak seberapa luas, dengan sebuah altar kecil tempat orang-orang bisa bersembahyang. Dulu di sini berdiri apa yang disebut Tangga Djamban, hasil sumbangan 81 orang warga Tionghoa Tangerang. Pada tahun 2009, tangga tersebut telah hancur total, namun pada tahun 2010 didirikan lagi atas inisiatif masyarakat, dan toapekong kali pun diletakkan di situ. Prasasti yang memuat nama ke-81 penyumbang Tangga Djamban diangkut ke Benteng Heritage Museum, dibersihkan dan kini dipajang di lantai dua bangunan tersebut. Pengunjung yang datang seringkali antusias ketika melihat nama marganya juga tercantum di prasasti itu.
Pemandangan Sungai Cisadane yang lebar dan relatif bersih meski airnya berwarna kecokelatan sungguh membuai mata. Memang satu lagi kelebihan Kota Tangerang adalah kawasan bantaran sungainya yang cukup terawat, dilengkapi kawasan hijau dan trotoar. Masih terlihat sampan-sampan dan para pemancing di sungai tersebut, juga orang-orang yang berjalan-jalan menikmati pemandangan sungai. Bila sedang perayaan Peh Cun, di sungai ini diselenggarakan perlombaan perahu naga.
(Trotoar dan taman memang merupakan kelebihan lain Kota Tangerang. Di sebagian ruas jalan, trotoar berdampingan dengan taman-taman yang dilengkapi bangku, tempat sampah, landasan bermain skateboard, lapangan basket, dan sarana permainan gimnastik.)
Saya mengikuti gang yang ditunjukkan sang supir angkot menuju Pasar Lama. Tidak jauh kok jalannya. Pasar Lama sampai saat ini memang masih berfungsi sebagai pasar tradisional di pagi hari. Mungkin karena itulah BHM juga buka siang hari, sejak pukul 1 di hari biasa dan pukul 11 di akhir minggu, namun tutup di hari Senin. Ketika saya tiba, pasar tersebut sudah sepi. Hanya tersisa beberapa pedagang yang sedang membereskan dagangan.
BHM mudah ditemukan karena tampak mencolok dengan cat dinding dan daun pintu serta kusen jendelanya yang masih terlihat mengilap. Kita akan disambut oleh sepasang patung singa – jantan dan betina – yang berdiri mengapit pintu depan. Gagang pintu tampak dihias diagram patkwa.
Ruang depan merupakan tempat penyambutan tamu, di mana kita bisa membeli minum untuk melegakan haus, membeli karcis, dan memotret. Ya, soalnya setelah melewati tempat penjualan karcis, kita tidak boleh mengambil foto. Namun di ruang depan ini, juga ada sejumlah pajangan yang menunjukkan kehidupan Kota Tangerang di masa lalu, untuk semakin menggelitik rasa ingin tahu kita.
Lantai dasar berlapis ubin kuno berwarna merah pudar. Ketika lantai dibongkar sewaktu restorasi, penggalian sedalam 20 meter ternyata menemukan sejumlah artefak yang menunjukkan bahwa lama sebelum rumah tersebut didirikan, daerah Pasar Lama telah digunakan sebagai pemukiman. Artefak-artefak itu kini dipamerkan di lantai dua BHM.
Di lantai bawah ini, disimpan sejumlah perabotan dan peralatan hidup sehari-hari seperti penggiling beras dari batu. Juga ada gerbang bulan yang indah, namun sebenarnya bukan merupakan bagian asli dari rumah, melainkan ditambahkan saat restorasi.
Lantai bawah saja sudah cukup membuat tercengang. Namun lantai dua BHM sungguh luar biasa! Untuk naik ke lantai berikutnya, kita terlebih dahulu harus mencopot sepatu, sebab penggunaan alas kaki dikhawatirkan menggores lantai atas yang terbuat dari kayu. Setelah mendaki tangga kayu yang cukup curam, kita pun tiba di lantai yang menyimpan sedemikian banyak harta warisan budaya.
Ada begitu banyak benda yang bisa kita lihat di lantai dua:
Mulai dari dachin (timbangan) dari yang kecil sampai yang bergagang panjang, sebab bisa digunakan merangkap sebagai pikulan;
kumpulan mesin tik, sempoa, jam dinding tua (salah satu di antaranya masih setia berdetak);
koleksi kain dan pakaian tradisional yang dipengaruhi budaya Tionghoa, misalnya kebaya encim;
Prasasti Tangga Djamban;
artefak berupa pecahan porselin, uang kuno, paku, dan lain sebagainya yang ditemukan tertanam di bawah museum;
sepatu-sepatu khusus yang dahulu dipakai oleh perempuan-perempuan yang kakinya diikat agar berukuran kecil, terkadang hanya sepanjang 3 inci (‘lotus feet’);
berbagai peralatan yang dibutuhkan untuk upacara-upacara tradisional;
arca dan ikon berbagai dewa dan sang Buddha;
perabotan dan peralatan hidup sehari-hari; serta banyak lagi.
Ada pula ruang tempat menyimpan koleksi kamera kuno, gramofon, dan piringan hitam milik Pak Udaya, namun ruang ini hanya bisa kita masuki bila sang pemilik sedang berada di BHM.
Akan tetapi, barangkali harta paling berharga rumah ini adalah relief potongan cerita Sam Kok yang menghiasi bagian pinggir penunjang atap di sekeliling void rumah. Relief yang menunjukkan kehebatan kriya kayu dan tempel-keramik ini mungkin tidak akan kita sadari seandainya kita tidak mendongak. Keberadaannya sepertinya merupakan bukti bahwa museum dahulu merupakan rumah kongsi, karena tidak sembarang rumah boleh dipasangi relief seperti itu. Keindahannya seperti mencuri napas saya sejenak.
Hal seru lain yang bisa kita lakukan di museum ini adalah mencoba membuka papan gerendel pintu menuju balkon di lantai dua. Meski kelihatannya sederhana dan hanya terbuat dari kayu, jangan salah! Bila kita tidak tahu caranya, sampai bego juga kita tidak akan bisa menggeser kedua gerendel itu sampai terbuka. Sungguh karya pertukangan yang brilian! (Kalau kita menyerah, pemandu akan memberi tahu kita cara membuka pintu, kok. Contekannya tidak saya beri, ya… hehehe. ) Dari balkon, kita bisa melihat-lihat ruas jalan Pasar Lama yang merupakan urat nadi perdagangan Tangerang masa lalu.
Setelah puas melihat-lihat lantai dua, kita akan dituntun menuruni tangga yang berbeda, menuju ruang di mana kita dapat membeli berbagai buku dan kecap tradisional buatan Tangerang. Nantinya ruang suvenir ini diharapkan bisa menjual lebih banyak lagi ragam cenderamata.
Kelar mengunjungi museum yang menyimpan kekayaan budaya ini, kita bisa berjalan sedikit ke arah kanan saat keluar dari rumah dan menengok Vihara Padumuttara/Kelenteng Boen Tek Bio, tempat sebagian penduduk lokal beribadah. Bau dupa yang meruap meninggalkan kesan kuat dalam ingatan akan Kota Tua Tangerang yang begitu kental dengan budaya peranakan.
Informasi penting mengenai Benteng Heritage Museum
Jl. Cilame No. 18/20, Pasar Lama
Tangerang 15111, Banten, Indonesia
Telepon: +62 21 445.445.29
e-mail: info@bentengheritage.com
Tur di Museum Benteng Heritage adalah tur berpemandu, berlangsung selama 45 menit, dengan jumlah setiap rombongan dibatasi 20 peserta.
Harga tiket umum Rp 20.000; mahasiswa/pelajar (wajib menunjukkan kartu pelajar) Rp 10.000; tur berbahasa Inggris Rp 50.000.
Museum buka Selasa – Jumat 13.00 – 18.00, Sabtu – Minggu 11.00 – 19.00, Senin tutup
Heritage Waroeng Kopi 10.00 – 20.00, menyediakan berbagai makanan/minuman khas babah/peranakan Tangerang (halal)